25 September 2009

SURAT AL- MUZZAMMIL

1. Al-Muzzammil sebuah kisah

Al-Qur’an sebagai kitab bernilai sastra tinggi, sehingga sangat layak dikaji melalui teori sastra.

Dalam tulisan ini kita menganggap surat Al-Muzzammil sebagai sebuah kisah, dengan catatan kisah dalam surat ini bukan sebuah kisah khayalan (fiksi), tapi kisah yang mengungkap kebenaran sejarah masa lampau, yang mencakup masa Fir’aun dan Nabi Muhammad SAW.

Namun, selain mengungkap kenyataan masa lampau, Al Muzzammil juga ‘menyerempet’ kenyataan sekarang, dan membayangkan sesuatu yang bisa terjadi di masa yang akan datang, yaitu berupa gambaran keadaan yang baik (ideal world) bagi yang mengikuti petunjuk Allah, dan gambaran keadaan yang buruk (worst-case scenario) bagi yang menolaknya. Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa Al-Muzzammil menempati peran sangat penting (central), karena memuat penjelasan ringkas namun padat tentang kaitan antara kegiatan mengkaji Al-Qur’an dan “revolusi sosial budaya” yang bisa timbul sebagai dampaknya. Karena itu, surat ini layak disebut mewakili gagasan ini al-Qur’an itu sendiri, yang memang diturunkan untuk mengangkat manusia dari keterpurukan akibat kesalahan memilih ajaran (konsep) hidup.

then:

3.1. Tema besar surat Al-Muzzammil

Tema besar surat Al-Muzzammil adalah keharusan bangun malam untuk mengkaji Al-Qur’an secara bertahap dan berdisiplin sebagai persiapan untuk memperbaiki kehidupan. Hal ini terungkap melalui ayat 1-4, dan dipertegas melalui ayat 20.

Sedangkan tema kecilnya berderet mulai ayat 1 sampai 20. Uraiannya sebagai berikut :

3.2. Al-Muzzammil sebagai sebuah ungkapan

Tema kecil pertama dalam surat ini tentu saja “Al-Muzzammil” itu sendiri, yang menjadi judul surat, tokoh utama, dan sekaligus merupakan adatutasybih (alat perumpamaan) bagi siapapun yang ingi menerobos kepungan -azh-zhulumat (”kebodohan” dengan segala bentuknya), untuk mendapatkan an-nur, yakni petunjuk Allah (Al-Qur’an). (Hubungkan antara lain dengan surat Al-Baqarah ayat 257)

Sebagai sebuah perumpamaan, al-muzzammil (orang yang berselimut) adalah ungkapan yang jitu untuk menyebut siapapun yang terlena dalam kejahilan ( jahilliyah ). Mereka ibarat orang-orang yang tidur dalam bungkusan selimut hangat, yang menambah tidur mereka semakin lelap, sehingga tidak menyadari apapun yang sedang terjadi dalam dirinya, lebih-lebih lagi dunia luar. Bila kita buka kamus, an-naim ( ) orang yang tidur, memang sama dengan al-ghafil ( )–hubungkan antara lain dengan surat Yasin ayat 6–orang yang lengah, lalai, dungu, bahkan bisa juga berarti mati ( ).

Maka semakin jelaslah bagi kita bahwa Al-Qur’an diturunkan memang untuk membangkitkan si Muzzammil itu. Bila ada orang yang bersikukuh mengatakan bahwa surat Al-Muzzammil ini diturunkan khusus hanya kepada Nabi Muhammad, maka seharusnya mereka juga ingat bahwa Nabi Muhammad pun -sebelum menerima Al-Qur’an- adalah dalam keadaan sesat atau bingung. (Surat Adh-Dhuha ayat 7)

Then:

4. Alur

Setiap kisah mempunyai alur atau “jalan cerita”, dan yang disebut jalan cerita ini adalah hubungan satu peristiwa dengan peristiwa-peristiwa yang lain dalam keseluruhan cerita, yang berlangsung dalam waktu-waktu tertentu.

Peristiwa-peristiwa itu berhubungan satu sama lain, seperti mata rantai, dalam jalinan hubungan sebab-akibat secara langsung maupun tidak langsung- dalam kaitan-kaitan sistematis maupun logis, sampai cerita berakhir.

Dalam surat Al-Muzzammil, alurnya bisa kita telusuri mulai dari tokoh si Muzzammil sendiri. Peristiwa pertama, dia disuruh bangun malam untuk mengkaji Al-Qur’an. Peristiwa kedua, dia harus mengatur waktu belajarnya, apakah setengah malam, atau kurang dari setengah, atau lebih dari setengah (ayat 1-4 dan 20).

Ingat, satu peristiwa punya hubungan sebab-akibat dengan peristiwa-peristiwa yang lain. Peristiwa bangun malam, misalnya, punya hubungan sebab-akibat dengan keadaan malam itu sendiri. Sebab bangun malam untuk mengkaji Al-Qur’an, maka kita bertemu dengan keadaan malam yang mendukung kegiatan belajar Al-Qur’an. Akibatnya (hasilnya), Al-Qur’an pun menjadi lebih mudah masuk ke dalam otak. Semakin sering hal itu dilakukan, semakin banyak isi Al-Qur’an yang diketahui.

Then

6.3 Bumi dan Gunung

Bumi dan gunung-gunung dalam ayat 14 juga bukan bumi dan gunung-gunung dalam arti harfiah. Karena bila berarti harfiah dan dianggap sebagai gambaran situasi dan kondisi ketika “dunia kiamat”, maka hal itu baru akan terjadi entah kapan. Hal itu, misalnya, tidak bisa dikaitkan dengan orang-orang yang hidup di zaman Musa dan juga Muhammad, bahkan juga dengan kita sekarang. Dalam pemikiran (ilmiah?) kita semua, kehancuran dunia adalah sesuatu yang mungkin baru terjadi entah beberapa ratus atau ribu tahun kemudian! Jadi, bila kabar tentang kehancuran alam itu dijadikan alat untuk ‘menakut-nakuti’, maka hal itu sama sekali tidak membuat kita takut.

Kategori: Kajian Islami
Ditandai:



Tidak ada komentar: